Jakarta - Rentetan kasus kebocoran data pribadi seolah tak ada hentinya terjadi. Baru berganti tahun saja setidaknya sudah ada dua dugaan kebocoran data yang mengemuka yaitu data diduga milik Kementerian Kesehatan dan pelamar anak perusahaan Pertamina.
Pada 6 Januari, data pasien diduga milik Kemenkes bocor dan dijual di raid forum atau situs yang kerap menjual data pribadi. Beberapa hari berselang, sebanyak 160 ribu data pelamar kerja di perusahaan Pertamina dibagi secara cuma-cuma di forum tersebut.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melalui Juru Bicara, Dedy Permadi yang dihubungi Senin (10/1) untuk diminta keterangan, namun tak kunjung merespons.
Pakar keamanan siber dari CISSReC, Pratama Persadha mengatakan kembali terjadinya kebocoran data masyarakat di 2022 merupakan kejadian yang sangat memprihatinkan. Kebocoran data ini menjadi peringatan bahwa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU-PDP) segera harus disahkan.
Lebih lanjut menurut Pratama kebocoran data di dua lembaga pada bulan ini menjadi cerminan tidak kuatnya iklim keamanan siber di Indonesia. Terlebih data yang bocor itu tak main-main jumlahnya.
"Dua lembaga besar di tanah air yang mengalami kebocoran data, sekali lagi ini membuktikan bahwa kewaspadaan siber kita masih lemah" ujar Pratama kepada CNNIndonesia.com lewat pesan singkat, Rabu (12/1).
Pratama berharap tentunya hal ini tidak terulang kembali di lembaga besar tanah air. Apalagi kasus dua kebocoran ini terjadi di bulan awal 2022.
Dia menilai keadaan iklim di Indonesia saat ini jelas menjadi santapan empuk peretasan, terutama lembaga negara. Dengan demikian harus ada perbaikan mendasar yang bisa memaksa semua pihak berbenah dan memperbaiki standar keamanan siber di lembaga masing-masing.
Dihubungi terpisah, Pakar Keamanan Siber dari Vaksin.com, Alfons Tanujaya menilai pemerintah saat ini masih gagap dalam merespons kemajuan zaman ke arah digital. Menurutnya berbagai lembaga pemerintahan masih ketinggalan dalam adaptasi pengelolaan data.
Padahal, data yang dikelola masyarakat itu mahal harganya. Masyarakat mau tidak mau akhirnya harus menyetor data pribadi ke lembaga pemerintah untuk kepentingan birokrasi. Namun lembaga pemerintahan sendiri yang kerap abai mengelola data yang mereka kumpulkan.
"Karena kita tidak bisa memilih terkait penyerahan data kepada pemerintah, jadi terkesan pemerintah sedikit lamban dan sedikit arogan," ujar Alfons kepada CNNIndonesia.com lewat sambungan telepon, Rabu (12/1).
Ia juga kembali mengingat di tahun lalu sederet insiden kebocoran data masyarakat terjadi. Insiden itu didominasi oleh lembaga pemerintah. Misalnya BPJS Kesehatan, data KPU, data Kemenkes.
Dengan sederet kasus kebocoran data yang tak henti-hentinya terjadi, Alfons lantas memprediksi bahwa rintangan kejahatan siber dalam sektor keamanan data bakal sering terjadi di tahun ini.
Potensi kebocoran data bisa dipicu oleh masifnya program digitalisasi akibat pandemi. Selain itu banyak juga program pemerintah yang banyak beralih ke ranah digital, sehingga diprediksi akan ada peningkatan secara drastis tahun ini.
"Kebocoran data tahun ini logikanya akan jauh lebih besar dari tahun lalu, katakan [naik] 50 persen di 2022," ungkap Alfons.
Lebih lanjut ia menyayangkan data pelamar kerja diduga dikelola Pertamina akhirnya dibagi secara cuma-cuma di raidforums. Padahal Alfons menilai Pertamina tak mungkin ada masalah pada anggaran untuk mengamankan data yang dikelola.
"Mungkin kesadaran tentang pengelolaan data dan pengamanan data dan bagaimana secara etika yang menjadi tanggung jawab belum menjadi prioritas bagi pemerintah," tuturnya.
Senada dengan Pratama, Alfons juga menggantungkan harapan pada RUU-PDP. Ia berharap pengelolaan data bisa lebih berhati-hati dalam mengelola data masyarakat. Harus ada sanksi, sehingga lembaga atau perusahaan tidak sembrono dalam mengelola data.
0 Response to "Kebocoran Data Pribadi yang Tak Berujung di RI"
Post a Comment